Kemenangan Trump jelas berkat sistem pemilu AS itu sendiri yang menggunakan pemilihan secara tidak langsung. Namun, jika ahli sejarah menengok mundur ke pemilu AS tahun 2016, mereka mungkin melihat ada banyak misteri yang belum terpecahkan.
Lebih dari pemilu lainnya dalam sejarah modern, persaingan panas tahun pilpres AS tahun 2016 meliputi beberapa kejadian yang amat berpengaruh dan mampu mengubah posisi kedua pesertanya secara drastis.
Berminggu-minggu setelah munculnya hasil pemilu yang mengejutkan, banyak orang masih memperdebatkan apa sebenarnya penyebab keoknya capres unggulan, Hillary Clinton.
Bahkan setelah beberapa versi jawaban muncul tentang bulan-bulan yang penuh gejolak itu, kita masih belum mengetahui kisah sebenarnya di balik beberapa peristiwa yang membuahkan hasil terpilihnya Donald Trump sebagai presiden.
Opini dari Profesor Julian Zelizer dari Universitas Princenton menjelaskan bahwa ada lima misteri di balik kemenangan Donald Trump. Berikut penjelasannya, yang Liputan6.com kutip dari CNN, Selasa (21/12/2016).
1. Pembocor Rekaman Cabul dan Pajak Trump?
Ada dua peristiwa saat kehidupan pribadi Trump menjadi fokus dalam kampanye dan mengancam pencalonannya secara serius.
Pertama adalah bocornya rekaman "Access Hollywood" yang mengungkap komentar Trump yang melecehkan wanita dan kemungkinan bahwa Trump melakukan pelecehan seksual.
Hal lainnya adalah saat New York Times berhasil memperoleh sebagian salinan laporan pajak lamanya yang menunjukkan bahwa ia telah mengklaim kerugian pajak, yang membantunya menghindari pembayaran pajak pendapatan sejumlah berjuta-juta dolar.
Namun, Trump mampu bertahan melalui dua skandal tersebut dengan mengalihkan perhatian ke isu-isu lain dan memutarbalikkan cerita sehingga sesuai dengan narasi anti-kemapanannya.
Namun pertanyaannya tetap sama: Siapa yang membocorkan video "Access Hollywood", dan siapa yang mengirim salinan laporan pajaknya ke New York Times?
2. Rusia dan Donald Trump
Salah satu tuduhan yang paling mencemaskan selama bulan-bulan terakhir masa kampanye adalah bahwa beberapa anggota tim kampanye Trump telah berkoordinasi dengan pejabat dan peretas di Rusia, yang berusaha memengaruhi pemilu.
Kini terdapat begitu banyak bukti bahwa Rusia terlibat dalam serangkaian trik kotor, mulai dari meretas email Panitia Konvensi Nasional Partai Demokrat yang mengungkap sejumlah informasi memalukan hingga mengedarkan berita-berita palsu yang menyebarkan banyak informasi bohong kepada para pemilih.
Banyak yang mempertanyakan saat wartawan melaporkan bahwa terdapat koneksi antara Rusia dan kekuatan pro-Rusia di Eropa Timur, seperti pekerjaan Paul Manafort, penasihat Trump, sebagai konsultan di wilayah tersebut.
Saat Trump meminta Rusia untuk melanjutkan peretasan yang mereka lakukan pada bulan Juli, timbul pertanyaan apakah ia menyerukan dilakukannya spionase dalam rangka kampanye.
"Rusia, jika kalian mendengarkan, saya harap kalian dapat menemukan 30.000 email yang hilang. Saya rasa pers di sini akan sangat berterima kasih pada kalian," ucapnya, dengan mengacu pada pesan-pesan elektronik Hillary Clinton saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Trump kemudian berkilah bahwa pesannya itu bersifat "sarkastik."
Telah ada beberapa peringatan tentang upaya meretas mesin pemilu, meskipun tidak ada bukti bahwa peretasan ini benar terjadi. Hubungan langsung antara Trump dan Rusia belum terbukti dan ini akan menjadi pertanyaan yang menarik bagi para akademisi saat mereka mencoba memahami bagaimana hal tersebut dapat terjadi.
Dalam seminggu terakhir, kontroversi peretasan Rusia menjadi lebih intensif. Beberapa badan intelijen negara telah sepakat bahwa Rusia telah membajak pemilu AS, dan
Presiden Obama telah berjanji untuk membalasnya. "Kita perlu bertindak," ungkap Obama, "dan kita akan bertindak." Tidak ada kesepakatan tentang apa tujuan dari peretasan, namun jelas terjadi intervensi oleh Rusia.
Meskipun Trump sebagai Presiden terpilih awalnya bersikap defensif menanggapi berita ini, seolah hal itu akan mengurangi legitimasi kemenangannya, dalam beberapa hari belakangan, sifatnya melunak. Namun ia tetap menunjukkan sikap pro-Rusia dalam memilih kabinetnya, termasuk calon Menteri Luar Negerinya, di tengah-tengahnya hangatnya skandal peretasan Rusia.
3. Manuver Bos FBI yang Rugikan Hillary Clinton
Salah satu peristiwa paling menggemparkan dalam pemilu kemarin adalah saat James Comey mengumumkan pada tanggal 28 Oktober bahwa FBI tengah menyelidiki sejumlah email yang ditemukan di komputer milik Huma Abedin, asisten pribadi Hillary Clinton, yang mungkin terkait dengan skandal email di Departmen Luar Negeri.
"Kemarin," demikian bunyi surat itu, "tim penyelidik memberikan rekomendasi pada saya, dalam rangka mendapatkan akses ke sejumlah email yang baru-baru ini ditemukan dalam sebuah kasus yang tak ada hubungannya. Karena sejumlah email itu tampak penting bagi penyelidikan kami, saya setuju bahwa kita perlu mengambil langkah-langkah untuk memperoleh dan menyelidikinya."
Kasus email ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah Hillary Clinton telah mendiskusikan materi rahasia di penyedia layanan internet yang tidak aman, yang merupakan inti dari tuduhan Trump yang menjuluki Clinton sebagai "Crooked Hillary."
Berita tersebut menghentikan angka survei Trump yang sebelumnya merosot akibat tuduhan pelecehan seksual dan muncul lagi kekhawatiran bahwa ternyata memang ada sesuatu yang besar di balik skandal email.
Dan ini berlangsung hanya beberapa bulan setelah Comey mengungkapkan bahwa tidak ada dasar untuk melakukan pendakwaan terhadap calon Republik itu.
Seminggu sesudahnya, hanya dua hari sebelum pemilu, Comey merilis surat kedua yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat ditemukan dalam sejumlah email yang mereka selidiki.
Namun tim kampanye Clinton mengatakan bahwa hal itu telah merugikannya karena membuka kembali masalah sekandal email dalam waktu yang begitu dekat dengan pemilu.
Mengapa Comey melakukannya? Kenapa ia atau Presiden tidak mengatakan apa pun tentang penyelidikan akan peretasan yang dilakukan Rusia?
Beberapa orang partai Demokrat berspekulasi bahwa keputusan ini didasari motivasi partisan, bahwa Comey, yang terdaftar sebagai anggota partai Republik (hingga bulan Juli) dan bekerja di pemerintahan partai Demokrat -- mengincar kandidat mereka.
Pihak lain beargumen bahwa komitmen Comey untuk bersikap non-politis dan independen telah diserang saat ia menutup penyelidikan beberapa bulan sebelumnya, maka ia bertekad untuk menunjukkan bahwa ia tidak merasa terintimidasi oleh pemerintahan Obama.
Pendapat lain adalah bahwa kemungkinan Comey merasa bertanggung jawab untuk merilis informasi agar para pemilih tidak merasa bahwa hasil pemilu, yang diramalkan akan dimenangkan oleh Clinton, tidak adil.
4. Kebencian Pendukung Trump
Tim kampanye Trump telah menampilkan begitu banyak pesan penuh kemarahan dan merendahkan, baik tentang wanita, imigran, atau tentang Muslim.
Mereka juga menggunakan retorika anti-Semit, dan pembicaran yang ultra-konservatif tentang hubungan rasial. Namun, sejak pemilu, saat para pakar menelusuri data, terdapat penolakan dari para pengamat yang menunjukkan bahwa banyak pendukung Trump yang mendukungnya bukan karena pesan-pesan ini.
Menurut argumentasi ini, mereka ingin seseorang yang dapat membangkitkan ekonomi, mereka menyukai kepribadian dan sikapnya, mereka hanya ingin tetap memilih kandidat partai Republik, atau mereka tak banyak memikirkan tentang Hillary Clinton.
Bahkan, pengamat CNN, Van Jones, yang secara emosional telah menyerang Trump karena pernyataan-pernyataannya yang berbahaya, mengingatkan pemirsanya bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik terpilihnya Trump.
Jadi, seberapa besar kebencian menjadi kekuatan yang menyetir hasil pemilu ini? Ini merupakan pertanyaan yang penting, tidak saja untuk lebih memahami pemilu tahun ini, namun juga memahami apa yang terjadi dengan para pemilih.
Sepertinya keliru jika menafikan kemungkinan bahwa banyak pemilih merasa tak keberatan dengan retorika Trump, dan bahkan menyetujuinya. Kita perlu tahu.
5. UU Anti-Kecurangan Pemilu Merugikan?
Para pakar hak pemilih seperti Ari Berman and Michael Waldman dari Brenna Center telah memberi peringatan selama berbulan-bulan bahwa semua peraturan anti kecurangan yang ditambahkan selama beberapa tahun terakhir akan menghalangi pemilih untuk berpartisipasi.
Berdasarkan tuduhan palsu akan adanya kecurangan pemilu secara besar-besaran, beberapa negara bagian menanggapi keputusan Mahkamah Agung yang melemahkan Undang-Undang Hak Memilih tahun 1965 dalam kasus Shelby vs. Holder 2013 dengan memberlakukan lebih banyak larangan dan batasan bagi warga negara AS untuk menggunakan hak pilih.
Mereka juga memperingatkan bahwa undang-undang ini akan paling merugikan grup minoritas yang mungkin tak memiliki surat identitas yang tepat atau menjadi takut untuk datang ke bilik pemilu meski mereka tak memiliki alasan untuk merasa takut.
Ini adalah pemilu pertama setelah Undang-Undang Hak Memilih, mereka mengingatkan. Trump memperparah situasi dengan memanas-manasi pendukungnya dengan ketakutan bahwa pemilu akan dicurangi dan menyerukan mereka untuk muncul di negara-negara bagian seperti Pennsylvania untuk memonitor kecurangan.
Karena tipisnya kemenangan Suara Elektoral Trump di Wisconsin dan Michigan, yang memberlakukan Undang-Undang tersebut, kita perlu menganalisa apakah hal ini telah menekan suara pemilih untuk Hillary dan menjadi sebagian sebab kenapa ia kalah.
Sebenarnya ada lebih banyak pertanyaan yang akan membingungkan para ahli sejarah, termasuk beberapa yang tidak terkait dengan dinamika perubahan yang terjadi dalam pemilu kemarin. Namun demikian, jelas sudah bahwa ini memang pemilu yang penuh misteri.
http://global.liputan6.com/read/2684593/5-misteri-di-balik-kemenangan-donald-trump-yang-kontroversial
0 Response to "5 Misteri di Balik Kemenangan Presiden Donald Trump yang Kontroversial"
Posting Komentar